Jumat, 19 Agustus 2022

IKUTILAH KEBENARAN DAN BUKAN MENGIKUTI MANUSIA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Diantara kebiasaan jahiliyah, yaitu terpedaya dengan pendapat mayoritas, menjadikannya sebagai standar menilai kebenaran. Penilaian yang didasarkan dengan argumen seperti di atas tanpa melihat dalil yang mendukungnya, merupakan cara pandang bathil dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman:

وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya." (QS. Al An’am/6:116).

وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ

"Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al A’raf/7:187).

وَمَاوَجَدْنَا لأَكْثَرِهِم مِّنْ عَهْدٍ وَإِن وَجَدْنَآ أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

"Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik." (QS. Al A’raf/7:102).
      Ibnu Mas’ud berkata:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
     Sebagian salaf mengatakan:

عليك بطريق الحق ولا تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل ولا تغتر بكثرة الهالكين

“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
     Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ سَنَّةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيباً ثُمَّ يَعُودُ غَرِيباً كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنِ الْغُرَبَاءُ قَالَ « الَّذِينَ يُصْلِحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ

Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid).
     Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ». فَقِيلَ مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِى أُنَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ »

Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
     Walau terasa asing, namun begitu indahnya jika bisa berada di atas kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.

     Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah menyebutkan bahwa umat Islam ini pasti berpecah-belah dan sudah terjadi perpecahan ditengah-tengah kaum Muslimin. Maka solusinya Nabi menyebutkan kembali kepada Al-Jama’ah yaitu kepada مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ (aku dan para Shahabatku).
     Nabi memerintahkan kita untuk mengikuti cara beragamanya para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan ini hukumnya wajib. Karena para Shahabat adalah:
(1) generasi yang paling dalam ilmunya,
(2) generasi yang paling paham tentang Al-Qur’an dan Sunnah,
(3) generasi yang lebih dahulu beriman,
(4) generasi yang paling semangat mengamalkan Qur’an dan Sunnah,
(5) generasi yang telah berjihad untuk menegakkan agama ini,
(6) generasi yang menemani, menolong dan menjadi pembela Nabi,
(7) para Shahabat telah dijamin oleh Allah dengan surga.

     Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, maka dia malah mengatakan, “Tapi Pak Kyai (pak ustadz, mbah Syaikh) saya bilang begini.” Ini beda dengan imam yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita. Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat beliau.
     Imam Asy Syafi’i berkata,

إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ وَإِذَا رَأَيْت الْحُجَّةَ مَوْضُوعَةً عَلَى الطَّرِيقِ فَهِيَ قَوْلِي

Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 211).
     Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya,

أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ  وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ

Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (Hilyatul Auliya’, 9: 107).
     Imam Syafi’i juga berkata,

إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ

Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.” ( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1: 63).

كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ  فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ

Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

كُلُّ مَسْأَلَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا  قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي

Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.” (Hilyatul Auliya’, 9: 107)

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ

Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.” (Siyar A’laamin Nubala’, 10: 35).

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I’lamul Muwaqi’in, 2: 282).
     Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur’an dan hadits dibanding perkataan lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita adalah Al Qur’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur’an.


Berdoa Dan Berhakim Kepada Allah Dengan Mubahalah Sebagai Senjata Untuk Menghadapi Syaithon Pendusta Dan Ahlu Ahwa'

     Allah berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

"Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar"." (QS Al Baqarah: 111).
     Berkata Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Kebenaran itu adalah yang tegak di atasnya dalil, Dan bukanlah kebenaran itu yang banyak di amalkan manusia.”
(Majmu’ Al-Fatawa War-Rasa’ill: 7/367).
     Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata:

‏إذا كانوا على غير حق فإننا لا نتبعهم ولو كانوا من أفضل الناس (شرح المنظومة الحائية ص54)

"Jika mereka tidak berada di atas kebenaran, maka kami tidak mengikuti mereka, walau mereka itu manusia yang terbaik." (Syarh Al-Manzhumah Al-Haiah, hlm. 54)
     Jika mereka tidak mampu mendatangkan burhan (dalil dari Kitabulloh, As Sunnah atau ijma' Ahlus Sunnah...serta tidak mampu nukilkan kalam Salaf) tapi dengan dusta dan angkuh mereka mengklaim benar, maka hendaknya harus siap jika diajak mubahalah.
     Allah berfirnan:

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ. وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.” Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim." (QS. Al Baqoroh: 94-95).
Allah berfirman:

قُلْ مَنْ كَانَ فِى الضَّلٰلَةِ فَلْيَمْدُدْ لَهُ الرَّحْمٰنُ مَدًّا ەۚ حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

"Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pengasih memperpanjang (waktu) baginya; sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya.” (QS. Maryam: 75).
     Menurut tafsir Abu Ja'far ibnu Jarir rahimahullah bahwa kalimat ini merupakan mubahalah terhadap orang-orang musyrik yang mengakui bahwa dirinya berada dalam jalan petunjuk. Semakna dengan mubahalah yang ditujukan terhadap orang-orang Yahudi seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:

{قُلْ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ هَادُوا إِنْ زَعَمْتُمْ أَنَّكُمْ أَوْلِيَاءُ لِلَّهِ مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ}

"Katakanlah, "Hai orang-orang yang menganut agama Yahudi, jika kalian mendakwakan bahwa sesungguhnya kalian sajalah kekasih Allah, bukan manusia-manusia yang lain. Maka harapkanlah kematian kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Jumu'ah: 6)
Maksudnya, harapkanlah kematian semoga menimpa kami atau kalian, jika kalian mengaku bahwa diri kalian berada dalam jalan yang benar. Sesungguhnya doa ini tidak akan menimpakan mudarat terhadap diri kalian. Akan tetapi, mereka tidak mau mengatakannya.
     Sama juga dengan mubahalah yang ditujukan kepada orang-orang Nasrani yang disebutkan di dalam surat Ali Imran, saat mereka bertekad untuk tetap pada kekafirannya dan kesesatan serta pengakuannya yang berlebih-lebihan terhadap Isa putra Maryam. Mereka mengatakannya sebagai anak Allah, padahal Allah telah menyebutkan bukti dan hujjah-Nya yang mengatakan akan kehambaan Isa, dan bahwa dia adalah makhluk Adami. Allah berfirman mengenainya:

{فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ}

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kalian), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian: kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran: 61)
Ternyata mereka pun menolak, tidak mau mengucapkannya.
     Mubahalah boleh dilakukan dengan sesama orang Islam yang menyeleweng, ahli bid’ah dan semacamnya, berlandaskan bahwa, ada beberapa dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dulu mengajak orang lain sesama umat Islam untuk mubahalah. Di antaranya:
(1) Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘iddah (masa tunggu) wanita hamil. Dan sesungguhnya iddah itu selesai dengan lahirnya kehamilan, bukan dengan lebih dua masa.
(2) Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengajak untuk mubahalah dalam masalah ‘aul dalam faroidh (pembagian waris).


Penutup

     Allah Ta'ala berfirman:

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al Maidah : 50).

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

"Allah berfirman, "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang shodiq dari kejujuran mereka. Bagi mereka Jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho terhadap Allah. Itulah kemenangan yang agung." (QS. 5 Al-Maidah : 119).
     Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukany rohimahullah berkata:

«إن الباطل وإن ظهر على الحق في بعض الأحوال وعلاه، فإن الله سيمحقه ويبطله ويجعل العاقبة للحق وأهله»

"Sesungguhnya kebathilan walaupun mengalahkan kebenaran pada sebagian keadaan dan mengunggulinya, maka sesungguhnya Allah pasti akan melenyapkan dan menghancurkannya serta menjadikan kesudahan yang baik bagi kebenaran dan orang-orang yang mengikutinya."
     Allah Ta'ala berfirman:

فَاِنْ لَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ اَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ اَهْوَاۤءَهُمْۗ وَمَنْ اَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوٰىهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ ࣖ

"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. Al Qoshosh : 50).

رَبِّ احْكُمْ بِالْحَقِّۗ وَرَبُّنَا الرَّحْمٰنُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُوْنَ

"Ya Robb-ku, berilah keputusan dengan adil. Dan Robb kami Ar Rohman, tempat memohon segala pertolongan atas semua yang kalian katakan.”

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين





Blora, Jumat 21 Muharram 1445 H (19-08-2022)


Hazim Al Jawiy













.

Senin, 08 Agustus 2022

 JUJUR AKHLAQ TERMULIA VERSUS DUSTA AKHLAQ PALING TERCELA



بسم الله الرحمن الرحيم


الحمد لله رب العالمين, والصلاة و السلام على نبينا محمد, عبدالله و رسوله وعلى اله و صحبه و من تبعهم بإحسان إلى يوم  الدين, و بعد :

     Allah Ta'ala berfirman :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang shodiq (jujur dan benar)." ( QS. At Taubah : 119 ).


Bab I. Jujur  Akhlaq Paling Mulia

     Jujur adalah sifat mulia yang berfungsi sebagai perias jiwa dan mengangkat derajat akhlaq manusia. Rosulullah adalah pemuka orang-orang yang jujur sehingga kejujuran beliau sangat menonjol dan merupakan sifat yang melekat pada pribadi dan jati diri beliau. Sejak kecil beliau terkenal dengan sifat jujur bahkan menjadi panutan dan simbol dalam kejujuran.
     Allah Ta'ala telah mengabarkan bahwa nanti pada hari Qiyamat tiada yang mampu memberi manfaat kecuali kejujuran dan tiada yang mampu memberi keselamatan kecuali kejujuran sebagaimana firman Allah:

قَالَ اللّٰهُ هٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصّٰدِقِيْنَ صِدْقُهُمْ ۗ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

"Allah berfirman, “Inilah saat orang yang shodiq memperoleh manfaat dari kejujurannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.”  (QS. Al Maidah: 119).
    Allah Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang shodiq (jujur dan benar)."  ( QS. At-Taubah : 119 ).
     Allah Ta'ala berfirman :

وَالَّذِيْ جَاۤءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهٖٓ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ

"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa." ( QS. Az Zumar : 33 ).
     Allah Ta'ala perintahkan para hamba-Nya yang beriman agar jujur dan berpegang teguh dengan kebenaran. Tujuannya agar mereka istiqomah di jalan kebenaran (orang-orang yang jujur). Jujur merupakan sifat terpuji yang dituntut keberadaannya dari kaum Mukmin, baik laki-laki maupun perempuan. Allah Ta'ala berfirman :

وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ

 “…Laki-laki dan perempuan yang benar (jujur)…”  ( QS. Al-Ahzab : 35 ).

فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ

“…Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka." ( QS. Muhammad : 21 ).
     Allah Ta'ala memberitahukan nilai kejujuran, bahwa kejujuran itu merupakan kebaikan sekaligus penyelamat. Sifat itulah yang menentukan nilai amal perbuatan, karena kejujuran merupakan ruhnya. Seandainya orang-orang itu benar-benar ikhlas dalam beriman dan berbuat taat, niscaya kejujuran adalah yang terbaik bagi mereka.
     Shidiq merupakan jalan menuju Jannah dan tiada cara belajar yang tepat untuk jujur kecuali hanya membiasakan kejujuran dalam kehidupan.


Bab II. Kejujuran Ibarat Pedang Allah di Muka Bumi

     Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat 751 H) menerangkan sifat as-shidq (kejujuran), dengan perkataannya, “Yaitu maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para salikin  (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allah), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa. Dengannya pula dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allah di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. Kejujuran merupakan ruh amal, penjernih keadaan, penghilang rasa takut dan pintu masuk bagi orang-orang yang akan menghadap Rabb Yang Mahamulia. Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama (Islam) dan tiang penyangga keyakinan. Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”


Bab III. Tingkatan Orang-orang Jujur

     Hakekat kejujuran adalah keserasian antara yang tersembunyi dan yang tampak dan antara yang lahir dengan yang bathin.
     Jujur memiliki enam tingkatan dan digunakan untuk enam makna antara lain :
Pertama : Jujur dalam ucapan dan perbuatan. Diantaranya adalah kejujuran dalam menyampaikan kabar baik tentang masa lalu atau berita masa yang akan datang, bisa juga dalam janji atau ingkar. Oleh sebab itu seorang hamba harus menjaga setiap lafazh yang terucap dari lisannya dan tidak berbicara kecuali dengan ucapan yang jujur. Inilah kejujuran yang paling dikenal dan tampak di kalangan masyarakat.
Kedua : Jujur dalam niat dan kehendak. Bisa diraih dengan bersikap ikhlash kepada Allah dalam setiap tingkah laku dan gerakan.
Ketiga : Jujur dalam tekad. Jujur dalam tekad berarti tidak ada keragu-raguan dalam tekad tersebut. Jadi jujur dalam tekad sebagai ungkapan kesempurnaan dan kekuatan yang ada dalam jiwa agar tidak lemah atau batal keinginan untuk mewujudkan.
Keempat : Jujur dalam  mewujudkan atau membuktikan tekad ketika ada kemampuan.
Oleh karena itu Allah memuji orang yang memiliki tekad bulat dan mampu membuktikan tekad tersebut sebagaimana firman Allah Ta'ala :

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللّٰهَ عَلَيْهِ ۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ قَضٰى نَحْبَهٗۙ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّنْتَظِرُ ۖوَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلًاۙ

"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)." ( QS. Al Ahzab : 23 ).
Kelima : Jujur dalam amal perbuatan, yaitu tidak dusta dalam tingkah laku dan perbuatan.
Keenam : Jujur dalam merealisasikan/mewujudkan perintah agama. Ini tingkatan yang paling mulia dan berharga. Diantara contohnya jujur dalam perasaan khouf (takut), zuhud, ridha, cinta, tawwakal dan semisal.


Bab IV. Dusta Akhlaq Tercela

     Allah Ta'ala berfirman :

اِنَّمَا يَفْتَرِى الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰذِبُوْنَ

"Sesungguhnya yang mengada-adakan kedustaan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pendusta." (QS. An Nahl : 105).
     Seorang mukmin mungkin saja terjerumus dalam akhlak buruk yang lain, akan tetapi mukmin yang sesungguhnya tidak akan berkhianat dan tidak akan berdusta. Sebagaimana dalam sebuah riwayat Nabi bersabda :

يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلَالِ كُلِّهَا إِلَّا الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ

“Seorang mukmin bisa memiliki tabi'at apa saja kecuali khianat dan dusta” ( HR. Ahmad ).
     Allah Ta'ala berfirman :

كَلَّا إِنَّ كِتَابَ الْفُجَّارِ لَفِي سِجِّينٍ ﴿٧﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا سِجِّينٌ ﴿٨﴾ كِتَابٌ مَرْقُومٌ ﴿٩﴾ وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴿١٠﴾الَّذِينَ يُكَذِّبُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ

Sekali-kali jangan begitu! Sesungguhnya catatan orang yang durhaka benar-benar tersimpan dalam Sijjin. Dan tahukah engkau apakah Sijjin itu? (Yaitu) kitab yang berisi catatan (amal). Celakalah pada hari itu, bagi orang-orang yang mendustakan! (yaitu) orang-orang yang mendustakannya (hari pembalasan).  ( QS. Al-Muthaffifiin: 7-11 ).
    

Bab V. Dusta Termasuk Tanda Kemunafikan

     Dalam hadits Ke-48 dari Jami'ul Ulum wal Hikam Ibnu Rajab berkata :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبيِّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : أَربعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً ، وَإِنْ كَانَتْ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ فِيْهِ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتَّى يَدَعَهَا : مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ  خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ  وَمُسْلِمٌ

"Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada empat tanda seseorang disebut munafik. Jika salah satu perangai itu ada, ia berarti punya watak munafik sampai ia meninggalkannya. Empat hal itu adalah: (1) jika berkata, berdusta; (2) jika berjanji, tidak menepati; (3) jika berdebat, ia berpaling dari kebenaran; (4) jika membuat perjanjian, ia melanggar perjanjian (mengkhianati).” (HR. Bukhari dan Muslim).
     Kemudian ada hadits lain yang menambah satu tanda kemunafikan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, berdusta; jika berjanji, tidak menepati; jika diberi amanat, berkhianat.” (HR. Muslim, no. 59).


Bab VI. Pujian Terhadap Kejujuran dan Celaan Terhadap Kedustaan

     Allah membagi manusia menjadi dua yaitu kelompok orang-orang yang jujur dan kelompok munafiq sebagaimana Allah Ta''ala berfirman :

 لِيَجْزِيَ اللّٰهُ الصّٰدِقِيْنَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ اِنْ شَاۤءَ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ

"Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima tobat mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." ( QS. Al Ahzab : 24). 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا 

"Dari Abdullah bin Mas'ud rodhiyaAllahu 'anhu, dia berkata: Rosulullah bersabda, "Berpegang-teguhlah dengan kebiasaan berkata jujur. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan. Kebaikan akan mengantarkan ke Jannah. Seseorang yang selalu berkata jujur dia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah kedustaan. Sesungguhnya kedustaan mengantarkan kepada kejahatan. Kejahatan mengantarkan ke neraka. Seseorang yang biasa berdusta, dia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.'' (HR Bukhori-Muslim).
     Umar bin Khoththob berkata: "Aku menjadi terhina karena kejujuran lebih kucintai daripada aku naik derajat dengan kedustaan."  
     Ali bin Abu Tholib rodhiyaallahu 'anhu selalu berusaha untuk jujur dalam ucapannya dan bersikap jujur dalam tindakannya sehingga beliau berkata: "Kejujuran lebih berharga daripada harta yang dimakan dan diwariskan seseorang."
Beliau juga berkata: "Dusta laksana fatamorgana."
     Ibnu Abbas rodhiyaallahu 'anhu berkata dalam mentafsiri firman Allah Ta'ala:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ

"Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan..." ( QS. Al Baqoroh: 42).
Maknanya: "Janganlah kamu mencampuradukan antara kejujuran dan kedustaan."
Ibnu Abbas juga berkata: "Sangat berhak bagi Allah untuk tidak mengangkat derajat pendusta dan tidak  memenangkan hujjahnya."
     Imam Sya'bi berkata: "Tetaplah kalian di atas kejujuran meskipun terlihat merugikan, maka ketahuilah suatu ketika berguna bagimu. Dan hati-hatilah dari berdusta meskipun terlihat menguntungkan, ketahuilah suatu saat akan merugikan kamu.".
     Ahli hikmah berkata: "Pendusta tidak akan bisa jaya meskipun mampu meletakkan rembulan di atas kedua tangannya dan orang jujur tidak akan terhina meskipun seluruh orang memusuhinya."
     Kedudukan sifat jujur dan orang-orang jujur berada di tempat yang paling depan dalam kamus akhlaq mulia, sebaliknya sifat dusta dan para pendusta berada di tempat yang paling rendah dalam kamus akhlaq tercela. Dusta merupakan suatu akhlaq yang paling berbahaya dan kejujuran sesuatu yang paling berguna, oleh sebab itu kejujuran lebih tinggi dari keimanan karena kejujuran tidak hanya sekedar iman. Shidiq puncak dari seluruh nilai kebaikan dan keutamaan, sedang dusta akar dari seluruh kejahatan dan kerugian.

Bab VII. Penutup

     Pada hari Qiyamat Allah nembagi manusia menjadi dua yaitu kelompok orang-orang yang jujur dan kelompok munafiq yang pendusta sebagaimana Allah Ta'ala berfirman :

 لِيَجْزِيَ اللّٰهُ الصّٰدِقِيْنَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ اِنْ شَاۤءَ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًاۚ

"Agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan mengazab orang munafik jika Dia kehendaki, atau menerima tobat mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." ( QS. Al Ahzab : 24).

وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا

"Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku)." ( QS. Al Isro' : 80 ).
      Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur serta melindungi kita dari akhlaq dusta dan kejelekan para pendusta.

والله تعالى أعلم بالصواب، والحمد لله رب العالمين






Blora, Senin 10 Muharrom 1445 H / 08-08-2022 M.



Hazim Al Jawiy





Tahukah Engkau Amalan Yang Disukai Imam Asy-Syafi'i di Malam dan Hari Jumat ?

  Tahukah Engkau Amalan Yang Disukai Imam Asy-Syafi'i di Malam dan Hari Jumat ? ✍🏻 قال الإمام الشافعي رحمه الله : وأحب كثرة الصلاة على...